Kematian Tragis Pahlawan Asal Sulawesi Selatan, Kapten Abubakar Lambogo
March 05, 2022
Add Comment
Di Sulawesi Selatan, nama Abu Bakar Lambogo sangat dihormati khalayak. Begitu dihormatinya hingga nama sang kapten pun ditabalkan sebagai nama jalan di dua kota: Makassar dan Parepare. Menurut Anhar Gonggong, Abubakar Lambogo memang kadung dikenal sebagai seorang martir.
"Cara gugurnya yang sangat tragis dan kejam, tak akan dilupakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan," ungkap sejarawan terkemuka tersebut.
Dalam revolusi di Sulawesi Selatan (1945-1949), lelaki yang bernama lengkap Andi Abubakar Lambogo itu bukanlah nama sembarangan.
Dalam suatu wawancara yang pernah saya lakukan pada 2013, tokoh pejuang kemerdekaan Sulawesi Selatan H.Maulwi Saelan menyebut kawan seperjuangannya tersebut sebagai seorang patriot.
"Kematiannya memang mengenaskan, tapi itulah salah satu risiko yang harus dihadapi seorang patriot. Saya rasa Kapten Abubakar sudah memperhitungkan semuanya," ujar eks anggota Tentara Pelajar Sulawesi Selatan itu.
Disergap KNIL Nasib tragis yang menimpa Kapten Abu Bakar berawal dari adanya rencana Wakil Kepala Staf Divisi Hasanuddin Mayor M. Saleh Lahade dan Komandan Seksi IV Kapten Andi Odang untuk meresmikan Resimen III Divisi Hasanuddin di Palopo.
Diputuskan kedua pimpinan itu akan dikawal oleh Batalyon I Resimen I yang dipimpin oleh Kapten Andi Abubakar Lambogo.
"Kapten Abubakar saat itu bertugas di Enrekang," ungkap Andi Sapada dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid IV yang disusun oleh Markas Besar LVRI.
Dalam perjalanan melalui jalur Masseurengpulu-Tana Toraja-Palopo, rombongan Lahade kerap bersirobok dengan grup-grup patroli pasukan KNIL. Tak jarang pertemuan itu menimbulkan bentrok yang sengit antar kedua pihak. Namun untunglah, pada akhirnya rombongan Lahade bisa sampai dengan selamat di Palopo.
Pada 12 Maret 1947, rombongan Lahade berjumpa dengan rombongan Andi Selle Mattola, pejuang Republik dari Suppa. Selle kemudian mengajak Lahade untuk menuju basis-nya di Suppa.
Menurut Jupri dalam ‘Abu Bakar Lambogo dalam Perjuangan Rakyat Enrekang, 1945-1947’ thesis pasca sarjana di Pendidikan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Makassar (UNM), Lahade mengiyakan ajakan Selle. Namun karena tiba-tiba sakit, Kapten Abubakar meminta izin untuk tidak ikut dan memilih bertahan sementara di Maiwa bersama pasukannya.
Kesaksian Nawa (salah seorang eks anak buah Kapten Abubakar yang sempat diwawancarai Jupri pada 10 November 2018), rombongan Abubakar lantas bermalam di Salu Wajo. Tanpa disadari oleh mereka, satu unit pasukan KNIL sudah menguntit pergerakan Abubakar dan anak buahnya sejak dari Maiwa.
Kamis subuh, 13 Maret 1947, saat Abubakar dan beberapa anak buahnya tengah mandi, secara mendadak pasukan KNIL melakukan serangan.
"Pasukan tidak sempat melakukan perlawanan dan terpencar kemana-mana," ungkap Nawa seperti dikutip Jupri dalam thesis-nya.
Kematian Tragis Akibat serbuan mendadak itu, banyak anggota Batalyon I Resimen I gugur dan tertangkap.
Setelah ditelanjangi, mereka kemudian digiring ke pos KNIL di Enrekang dan diikat di tiang listrik selama sehari semalam sambil disiksa secara brutal tiada henti.
Dalam insiden tersebut, Kapten Abubakar tertembak di paha. Dengan kondisi terluka dia lantas dibawa ke markas besar KNIL di Enrekang bersama salah satu anak buahnya.
Keesokan harinya, para prajurit Batalyon I yang ditahan di salah satu pos KNIL kemudian diangkut ke markas besar mereka di Enrekang, dengan dalih akan dipertemukan dengan Kapten Abubakar.
Namun yang terjadi kemudian, para prajurit Batalyon I hanya 'dipertemukan' dengan kepala Kapten Abubakar yang sudah terpenggal dan terpajang di atas sebilah bayonet pada sepucuk senjata api tepat di pintu gerbang Pasar Enrekang. Tidak cukup itu, mereka kemudian dipaksa satu persatu untuk mencium potongan kepala tersebut.
Menurut Saelan, praktik tidak beradab itu dilakukan oleh militer Belanda sebagai daya kejut guna melemahkan perlawanan para pemuda Sulawesi Selatan. Namun di lihat dari hukum perang dan rasa kemanusiaan, aksi para prajurit KNIL itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Pihak militer Belanda, kata Saelan, seharusnya memperlakukan seorang pimpinan pasukan musuh secara baik.